Edisi 11/11/2019
KOPLAK menutup matanya rapat-rapat. Di usianya yang tidak lagi muda, banyak sekali persoalan-persoalan besar yang bergentanyangan mendarat di dalam pikirannya, turun ke hati. Merusak seluruh rasa kemanusiaannya. Sebagai lelaki desa yang dipercaya masyarakat desanya untuk menjadi orang nomor satu di desanya Koplak justru merasa kepercayaan masyarakat desa seperti mata yang terus hidup dan mengawasi beragam geraknya. Koplak justru heran dengan para raja-raja yang berkuasa di pemerintahan, kenapa mereka justru bergaya melebihi seorang bangsawan?
Mereka hanya mau dilayani, bukan melayani. Apa sesungguhnya yang ada di dalam pikiran orang-orang itu? Dan, yang mengejutkan Koplak ada-ada saja ide-ide bernas orang-orang itu untuk memanipulasi beragam hal yang dikemas untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Mereka tega dan sangat rakus makan duit rakyat dengan menggelembungkan beragam anggaran yang justru tersedia untuk masyarakat. Mereka sudah kaya kok belum puas juga? Masih saja merasa kekurangan. Bahkan baru-baru ini ada kabar sekolah ambruk.
Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan dua orang kontraktor berinisial S dan D sebagai tersangka kasus ambruknya atapSekolah Dasar Negeri Gentong, Kota Pasuruan, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Luki Hermawan di SDN Gentong, Sabtu, 9 November 2019.Luki berujar D dan S berasal dari dua CV berbeda, yakni CV Andalus dan CV DHL Putra. Ia mengaku kecewa atas ambruknya atap sekolah saat kegiatan belajar mengajar hingga mengakibatkan siswa dan guru meninggal dunia.”Runtuhnya ini sungguh membuat kecewa banyak pihak, ya, harusnya tidak seperti ini. Seandainya murid-murid ini ada di kelas semua, karena sebagian meninggalkan kelas, kegiatan olahraga di luar,” ujarnya.
Mengenai konstruksi bangunan, dari laporan tim Laboratorium Forensik yang dia diterima, konstruksi bangunan memang gagal dan terkesan asal-asalan. “Laporan labfor ini konstruksi bangunan ini sudah gagal konstruksi dan ngawur, tinggal tunggu robohnya. Dan kami dapat laporan dari penerimaan BPK menyampaikan loh seperti ini tidak sesuai. Ya ini, akibatnya runtuh,” ucapnya.
Selain tindak pidana yang menyebabkan adanya korban jiwa, polisijuga menelusuri adanya dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan tersebut dan tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain.
Bayangkan jika itu terjadi pada Kemitir? Koplak menarik nafasnya, matanya dibiarkan terpejam. Apakah bisa tenang orang-orang yang makan duit rakyat? Bahagia bisa mensejahterakan keluarga dengan mengorbankan orang lain? Bahkan ada yang meregang nyawa. Nafas Koplak semakin berat, kenapa orang-orang yang memiliki kewenangan itu tidak berpikir untuk berhenti mencuri duit rakyat? Kenapa orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kewenangan itu merasa malu masih mencuri, padahal sudah dapat beragam fasilitas yang sangat berlebihan dari negara? Punyakah orang-orang itu sedikit rasa belas kasihan? Empati?
Atau kalau ingin lebih mudah, bagaimana kalau ambruknya atap sekolah itu menimpa anak-anak mereka? Apakah mereka bisa tenang tidur di kasur mahal, jalan-jalan ke luar negeri, hidup nyaman di rumah besar dan mewah dengan beragam fasilitas yang ditanggung negara. Ditanggung duit rakyat?
“Mereka itu tidak mungkin kapok, Koplak. Di mana ada kesempatan disitu pementasan dimulai. Ibarat mencoba restoran baru, di mana ada uang yang bisa diselundupkan di sana mereka bercokol. Kau sudah baca berita tentang desa fiktif?” tanya sahabat Koplak suatu hari di warung kopi.
Desa fiktif? Koplak merengut teringat data yang dia dengar dari TV, ada sekitar 56 desa fiktif yang terus menerima bantuan. Hyang Jagat alangkah teganya mereka. Alangkah rakusnya. Setiap melihat gelontor uang rakyat, mereka mungkin seperti manusia kelaparan yang ingin mencaplok beragam jenis uang dari beragam proyek itu. Yang membuat Koplak sakit hati dana desa diselundupkan?
Terus, kemana larinya uang-uang itu yang pasti jumlahnya tentu tidak kecil. Menyelundupkan dana desa? Apa mereka lupa makanan yang lezat terhidang ditempat makan mereka rata-rata datang dari tetes demi tetes keringat para petani yang tinggal di desa. Keringat yang menghidupi keluarga dan membuat anak-anak mereka tumbuh besar dan hidup dengan layak.
Tahukah mereka bahwa semua yang terhidang itu lahir dari keringat warna desa. Koplak mendengus, belum juga ingin membuka mata karena berharap pikiran-pikiran buruk yang menjajah kepalanya segera raib. Di bulan baik ini, ketika bangsa Indonesia merayakan hari pahlawan. Adakah yang bisa dibanggakan dari para raja-raja yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan ? Tetapi begitu rakus ketika melihat tebaran uang? Di mana sesungguhnya jiwa kepahlawanan mereka? Koplak terdiam berusaha mencari identitas dirinya sendiri sebagai kepala desa sebuah desa kecil yang bisa menghidupi dirinya sendiri. [T]