Bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Meskipun bahasa Indonesia mempunyai enam kedudukan tetapi bahasa daerah tetap terjaga keberlangsungannya.
Hal itu menyebabkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat bilingualisme. Penggunaan dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa daerah) pada masyarakat bilingualisme akan mengakibatkan perubahan peranan bahasa daerah. Menurut Fergusen situasi tersebut adalah masyarakat bilingualisme dengan diglosia. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Menurutnya, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R).
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:
a.Bilingualisme dan diglosia,
Masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingual dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
b.Bilingaulisme tanpa diglosia
Masyarakat yang bilingualisme tetapi tidak diglosia adalah masyarakat yang bilingual,namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.
c.Diglosia tanpa bilingualisme
Masyarakat diglosia, tetapi tanpa bilingualisme adalah terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok yang hanya bicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua, yang biasanya lebih besar dan tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R.
d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain
Situasi kebahasaan pada masyarakat Bali adalah bilingualisme dan diglosia. Yang menjadi kekhawatiran adalah dengan dipergunakan bahasa Indonesia dan bahasa Bali dalam berkomunikasi, bahasa Indonesia dipastikan dapat mengeser fungsi bahasa Bali.Tanda-tanda ke arah itu sudah dapat dilihat secara kasat mata. Masyarakat Bali yang ada di perkotaan secara pelan dan pasti menggunakan bahasa Indonesia dalam ranah keluarga. Hal ini sudah menggeser fungsi bahasa Bali. Tidak saja fungsi bahasa Bali yang bergeser tetapi juga situasi tersebut menyebabkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berprestise (diglosia). Apabila situasi ini tidak segera diantisipasi, akan mengakibatkan fungsi bahasa Bali akan terus digeser oleh bahasa Indonesia.
Berkaitan dengan usaha pemertahanan bahasa Bali, Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 20 Tahun 2013. Pada Bab II Pasal 2 ayat 1 dengan jelas termaktub bahwa Bahasa, Aksara, dan sastra Bali diajarkan pada semua jenjang pendidikan dasar dan menengah sebagai mata pelajaran di di Provinsi Bali. Dengan diberlakukan Pergub tersebut bahasa Bali diajarkan sebagai mata pelajaran wajib pada setiap satuan pendidikan.
Dengan itu pembelajaran bahasa Bali yang diajarkan pada setiap satuan pendidikan mempunyai landasan hukum yang kuat. Pergub ini dikeluarkan sebagai respon terhadap pemberlakuan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 tidak memberikan ruang gerak terhadap pembelajaran bahasa daerah. Pada Kurikulum Tahun 2013 bahasa daerah tidak lagi diajarkan sebagai mata pelajaran (mapel) yang mandiri tetapi mapel bahasa daerah diintegrasikan dengan mapel Seni dan Budaya. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari para pakar bahasa Bali dan Aliansi Peduli bahasa Bali, dan mahasiswa perwakilan dari berbagai universitas di Bali.
Dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali telah melakukan penyempurnaan terhadap kurikulum dan bagaimana proses pembelajaran bahasa Bali diajarkan pada setiap satuan pendidikan. Proses pembelajaran Bahasa Bali di sekolah-sekolah diarahkan untuk tercapainya pembelajaran pada penguasaan tiga ranah yaitu penguasaan bahasa secara kognitif, afektif dan psikomotor. Penguasaan kognitif diarahkan untuk menguasai mengenai teori kebahasaan dan kesusastraan, penguasaan afektif ditujukan untuk penguasaan sopan santun berbahasa dan penguasaan psikomotor ditekankan pada penguasaan keterampilan berbahasa dan mampu mengkaji kesusastraan.
Pembelajaran bahasa Bali pada setiap tingkat satuan pendidikan ditekankan pada penguasaan empat keterampilan berbahasa. Dengan penekanan pada penguasaan keempat keterampilan tersebut siswa diharapkan bisa berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis dengan menggunakan bahasa Bali dengan baik dan benar. Hal tersebut sejalan dengan implementasi Kurikulum 2013 bahwa pembelajaran diarahkan untuk pencapaian kompetensi sehingga siswa diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap direfleskikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Tercapainya standar kompetensi lulusan sangat bergantung pada banyak faktor. Faktor tersebut antara lain bagaimana proses pembelajaran tersebut dilakukan. Hal ini mengacu pada pendekatan yang diterapkan dalam proses pembelajaran.
Keseriusan Pemerintah Provinsi Bali dalam untuk memertahankan keberlangsungan bahasa Bali adalah dengan diterbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali. Pada pasal 2 disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan perlindungan bahasa, aksara, dan sastra Bali melalui (1) inventarisasi, (2) pengamanan, (3) pemeliharaan, (4) penyelamatan, dan (5) publikasi.
(1) Inventarisasi sebagaimana dilakukan dengan pencatatan dan pendokumentasian, penetapan, serta pemutakhiran data.
(2) Pengamanan sebagaimana dilakukan dengan cara: (a) memutakhirkan data bahasa, aksara, dan sastra Bali dalam sistem pendataan kebudayaan terpadu secara terus menerus;(b).mewariskan bahasa, aksara, dan sastra Bali pada generasi selanjutnya; dan (c) memperjuangkan secara selektif aksara dan sastra Bali sebagai warisan budaya tak benda Indonesia dan warisan budaya dunia.
(3) Pemeliharaan dilakukan dengan cara: (a) menjaga nilai keluhuran dan kearifan objek Perlindungan Bahasa, Aksara Dan Sastra Bali; (b).menggunakan objek Perlindungan Bahasa,Aksara dan Sastra Balidalam kehidupan sehari-hari; (c) menjaga keanekaragaman objek Perlindungan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali; (d).menghidupkan dan menjaga ekosistem Bahasa, Aksara dan Sastra Bali untuk setiap objek Perlindungan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali; dan (e) mewariskan objek Perlindungan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali kepada generasi berikutnya.
(4) Penyelamatan dilakukan dengan cara: (a) revitalisasi; (b) repatriasi; dan/atau (c) restorasi.
(5) Publikasi dilakukan melalui penyebaran informasi kepada seluruh masyarakat yang ada di Bali dan di luar Bali dalam berbagai bentuk media.
Kebijakan tersebut telah diimplementasikan oleh bupati dan walikota. Salah satu dapat dicermati dari dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Walikota Denpasar Nomor 836 Tahun 2018 tertanggal 2 Oktober 2018 tentang Hari Penggunaan busana adat Bali, Pelindungan penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali serta penyelenggaraan bulan bahasa Bali serentak di Kota Denpasar. Walaupun telah diterbitkan peraturan gubernur yang mengayomi kebertahanan bahasa Bali, apabila sikap positif masyarakat Bali terhadap bahasa Bali tidak ada, fungsi bahasa Bali akan semakin tergerus oleh penggunaan bahasa Indonesia.
Salah satu riset yang telah dilakukan oleh Adnyana (2018) adalah kajian terhadap sikap guyub tutur bahasa Bali Dialek Terunyan (BBDT) dengan mengambil sampel 13 siswa dari 130 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kintamani yang berasal dari Desa Terunyan. Hal yang perlu digaris bawahi dari hasil kajian tersebut adalah meskipun guyub tutur BBDT mempunyai sikap positif terhadap BBDT tetapi mereka tidak mempunyai kebanggan terhadap bahasanya. Apabila kebanggaan terhadap bahasanya tidak ada, maka dapat diprediksi fungsi bahasa BBDT akan mengalami pergeseran.
Sikap berbahasa guyub tutur bahasa Bali yang tinggal di perkotaan tentu berbeda dengan yang tinggal di perdesaan. Meskipun belum ada kajian mengenai sikap gutub tutur bahasa Bali di daerah perkotaan tetapi secara kasat mata ada kecendrungan masyarakat yang tinggal di perkotaan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada ranah keluarga. Keberadaan bahasa Bali ditengarai mengalami penyusutan penutur bahkan pengamat bahasa Bali menyatakan bahwa bahasa Bali mengalami krisis penutur
Kebertahanan suatu bahasa sangat bergantung kepada sikap positif guyub tuturnya. Apabila sikap positif tidak ada dapat dipastikan secara perlahan-lahan fungsi bahasa tersebut tergantikan dengan bahasa lain. Lambert (1967:91-1902) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai bahasa Bali. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka terhadap suatu terhadap bahasa tertentu. Komponen konatif menyangkut perilaku yang dalam hal ini bagaimana keterampilan seseorang dalam menggunakan suatu bahasa. Ketiga komponen tersebut berhubungan erat dan untuk menentukan sikap bahasa seseorang dapat dianalisis dari sikap seseorang terhadap ketiga komponen tersebut (kognitif,afektif, dan psikomotor).
Menurut Garvin dan Matiot (dalam Chaer, 2004:152) ada tiga ciri untuk menentukan sikap bahasa yaitu :
(1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain;
(2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong seseorang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat;
(3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm ) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). Seseorang dikatakan memilki sikap positif terhadap bahasanya dapat dicermati dari kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa dan kesadaran akan norma. Apabila ketiga ciri tersebut sudah mulai memudar maka seseorang atau masyarakat tutur maka sikap negatif terhadap bahasanya telah melanda guyub tutur suatu bahasa.
Pemertahanan bahasa Bali jangan hanya dipercayakan pada usaha pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali melalui pendidikan formal. Jika dicermati proses pembelajaran bahasa Bali dengan alokasi 2 jam pelajaran per minggu dirasakan tidaklah memadai. Dengan alokasi waktu yang terbatas siswa dituntut menguasai dan bisa berbahasa Bali dengan baik. Hal ini tentu merupakan hal yang mustahil. Dengan keterbatasan waktu siswa dituntut menguasai tentang pengetahuan bahasa dan keterampilan berbahasa. Permasalahan pembelajaran bahasa Bali tidak hanya diakibatkan keterbatasan waktu yang tersedia tetapi juga rendahnya motivasi para siswa untuk belajar bahasa Bali. Hal ini kemungkinan terjadi karena bahasa Bali tidak sebagai mata pelajaran yang menentukan kelulusan siswa.
Disamping itu, pembelajaran akan berhasil bergantung pada sikap bahasa anak terhadap bahasa Bali. Sikap bahasa sangat dipengaruhi oleh sikap berbahasa para orang tuanya. Pada saat ini ada kecendrungan para orang tua (terutama di daerah perkotaan) memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi pada ranah keluarga. Berbagai alasan disampaikan mengapa para otang tua memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam rumah tangga. Para orang tua menganggap bahasa Indonesia lebih prestisius.
Dengan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam rumah tangga, anaknya tidak akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah karena di sekolah bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Anak yang sudah terbiasa berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi di rumah ketika mereka memasuki pendidikan formal (SD,SMP, SMA) mereka mempelajari bahasa Bali. Mereka mengalami kesulitan mempelajari bahasa Bali. Mereka mempelajari bahasa yang mereka tidak pernah diperoleh dalam rumah tangga. Berbeda dengan anak yang menguasai dua bahasa, bahasa Bali dan bahasa Indonesia atau sebaliknya, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam mempelajari bahasa Bali di sekolah.
Yang menjadi tugas kita adalah bagaimana memertahankan bahasa Bali yang merupakan warisan budaya adiluhung masyarakat Bali. Pemertahanan bahasa Bali dapat dilakukan melalui pendidikan formal dengan mengajarkan bahasa Bali di sekolah sedangkan jalur infomal dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarga. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah guyub tutur bahasa Bali (terutama di perkotaan) mempunyai sikap positif terhadap bahasa Bali.
Kesadaran untuk memertahankan eksistensi bahasa Bali harus dimulai dari lingkungan rumah tangga. Jangan merasa minder apalagi beranggapan dengan memilih bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam rumah tangga merasa “kampungan”. Sikap positif terhadap bahasa Bali perlu dibangun dari generasi ke generasi.
Kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa Bali perlu dibangun. Kesetiaan bahasa dapat dilakukan oleh para orang tua dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengatar dalam ranah keluarga. Perkenalkanlah kepada anak situasi kebahasaan (bilingualime) sejak dini. Hal itu dapat dilakukan dengan mengajarkan bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Anak diperkenalkan bahasa Bali lebih awal, apabila anak sudah lancar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia selanjutnya anak diperkenalkan dengan bahasa Bali, begitu sebaliknya.
Dengan memakai bahasa Bali sebagai pengantar dalam keluarga, diharapkan anak mempunyai kebanggaan terhadap bahasa Bali. Bahasa Bali dijadikan sebagai lambang identitas pribadi atau kelompok dan sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lain dan sebagai satu wujud kepribadian dan intelektualitas. Ciri orang yang memiliki kebanggaan terhadap suatu bahasa dengan menggunakan bahasa tersebutdalam berbagai kesempatan baik secara lisan maupun tulisan dengan meminimalisasi penggunaan bahasa lain. [T]