“Si lemah tidak pernah memaafkan. Memaafkan adalah atribut bagi si kuat.” (Mahatma Gandhi)
Selalu ada misteri dalam hidup. Misteri selalu membawa daya tarik dan senantiasa menggoda. Hari ini, 5 Juni 2019 atau 1 Syawal 1440 Hijriah, kita akan membahas sebuah misteri yang disebut pemaafan. Orang yang kuat bukanlah yang banyak mengalahkan orang lain dengan kekuatannya.
Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah. Demikian diutarakan oleh ahli hadis yang termasyur di antara ahli hadis sejak dulu hingga kini, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
Pun sahabat baik Nabi Muhammad bernama Ibnu Abbas, mengatakan: ‘Allah memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” Adakah yang lebih kuat daripada saat setan dan musuh telah menjadi sahabat kita?
Namun sayang sekali, sejak kecil kepada kita telah diperkenalkan sebuah konsep kuat yang lain. Kuat yang perkasa, gagah berani & menghancurkan! Karena demi lebih heroik, semangat kemarahan pun mesti menyertai. Di suatu malam yang dingin menusuk, di tahun delapanpuluhan, saya yang masih kanak-kanak, duduk di depan kelir.
Seorang tetangga mengupah wayang untuk perayaan enam bulan anaknya. Untuk mata kanak-kanak saya, jam 11 malam di desa yang sunyi itu sesungguhnya waktu yang indah untuk bermimpi. Maka dalam duduk itu pun saya sempat terlelap hingga sebuah hingar bingar sorak sorai penonton bergemuruh telah membangunkan.
Dalang telah sampai pada adegan Sang Bima putra Kunti yang tiada kenal belas kasihan menghajar dengan gadanya secara membabi buta, Sang Dursasana, pangeran Kurawa yang telah melecehkan menelanjangi Drupadi, istri para pangeran Pandawa. Dursasana, remuk, segala tangan dan kakinya patah tercerai berai.
Seharusnya kami sedih menyaksikan horor itu, namun nyatanya larut dalam keriangan yang aneh tersebut. Kami, betul-betul hanya sampai pada kemenangan yang mengerikan itu. Bukan pada hakikat kemenangan melawan musuh dalam diri sendiri. Dursasana adalah iblis yang bersembunyi mengintip kelengahan dalam diri setiap manusia.
Kita seakan-akan selalu merindukan kemenangan-kemenangan yang menghancurkan. Bahkan tokoh super hero Superman yang telah pulang ke Planet Krypton pun merasa perlu kembali ke bumi untuk bertarung memuaskan obsesi kita dalam Superman Returns. Juga dendam-dendam yang tak pernah padam harus terus dihadapi oleh John Rambo, veteran perang Vietnam yang seharusnya telah beristirahat dalam tenangnya masa pensiun.
Entah ini sebuah sikap primitif atau satu budaya adaptatif, yang jelas, kita umat manusia ini lebih tertarik dengan sebuah kemenangan ketimbang perdamaian. Satu kemenangan, memerlukan satu kekalahan. Jika saja pilihan kita perdamaian, maka tak butuh satu pun kekalahan dari yang lain.
Untuk sebuah perdamaian, jangankan ketidakberdayaan sebuah kekalahan, sebilah pedang pun sudah tak diperlukan lagi. Ia cuma butuh pemaafan yang tulus, entah permintaan maaf ataupun pemberian maaf. Namun justru itulah yang sungguh mahal harganya. Kita akan selalu ingat pada suatu waktu di tahun 1995.
Sejumlah veteran Indonesia sampai merasa perlu menuntut Ratu Beatrix yang berkunjung ke Indonesia untuk meminta maaf. Atas tiga setengah abad kebrutalan pemerintahan kolonialnya terhadap bangsa Indonesia. Baru pada tahun 2013, pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf kepada Indonesia, atas kekejaman perang yang mereka lakukan. Khususnya pembantaian masal yang dilakukan tentara belanda di Indonesia antara tahun 1945-1949.
Maka beruntunglah di hari penuh kemenangan ini, di hari Lebaran yang penuh berkah. Saat mana tradisi pemaafan begitu mendalam dan melekat. Segala ritual dan kemeriahan bernuansa agamis pada akhirnya bermuara pada sikap jiwa besar maaf-memaafkan yang sedemikian bersahaja. Yang sesungguhnya tak menuntut busana baru, hidangan mewah atau lampu-lampu gemerlap. Alih-alih dendam dan kebencian, ia menghadirkan segalanya menjadi teman & saudara.
Pemaafan, ialah yang niscaya menarik merangkul segala yang musuh, dendam dan benci menjadi teman dan saudara. Layaknya seorang ibu yang menerima tanpa pilih kasih semua anak-anaknya, entah ia baik ataupun nakal. Itulah kenapa pemaafan kita sebuat sebagai ibu dari segala ibadah. Selamat hari Lebaran, mohon maaf lahir dan bathin. [T]