16 December 2019
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

Putu Arya Nugraha by Putu Arya Nugraha
May 23, 2019
in Esai
34
SHARES

“Satu mata untuk satu mata hanya akan berakhir membuat seluruh dunia buta.” (Sang Jiwa Agung, Mahatma Gandhi)

.

Satu perkelahian atas nama kebencian, yang membakar hati & melalap akal sehat telah mengoyak ketenangan Kota Verona di sore yang hangat itu. Untuk kesekian kalinya, anggota dua keluarga besar yang bermusuhan, Montague dan Capulet, telah merepotkan aparat kota di Italia yang indah itu. Ancaman pemberlakuan hukuman mati oleh Pangeran Verona bagi perusuh tak jua membuat mereka jera. Juga jalinan kisah cinta yang sedemikian bergemuruh di antara dua hati anak manusia dari kedua keluarga itu, Romeo dan Julia, tak kuasa meredakan api dendam yang telanjur membara. Mengapa kebencian begitu sulit dibasmi? Mengapa jiwa-jiwa yang bengis telah menggelapkan mata hingga berujung pada sebuah tragedi paling menyesakkan hati dunia?

Dendam dan kebencian telah sedemikian banyak tercatat dalam sejarah manusia. Ia tak cuma permainan kata-kata para penyair dan pujangga yang berkat kekuatan intuisinya telah mengundang begitu banyak air mata berlinang dalam kesedihan paling menyayat. Adakah karena kebencian itu lebih maskulin? Lebih jantan, lalu ia kerap memberikan kemenangan?

Kemenangan berarti musuh binasa. Itulah yang tercatat dalam kitab Pararaton. Bercak darah melekat pada setiap penggulingan penguasa di kerajaan Singasari. Kebencian dan dendam disulut oleh kematian akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, di tangan pengawalnya sendiri, Ken Arok. Ken Arok yang muda dan ugal-ugalan, berbekal keris pesanan khususnya dari Mpu Gandring, tak hanya merenggutkan nyawa junjungannya itu. Ia juga memperistri istri Tunggul Ametung, Ken Dedes, menguasai Tumapel bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi dan melepaskan diri dari Kediri. Kekuasaan sering kali menerlenakan.

Ia tak pernah menyadari dengan baik jika sejarah akan selalu berulang. Pun sejarah tentang dendam dan kebencian. Maka Ken Arok pun dihabisi dan dilemparkan dari singgasananya oleh Anusapati, anak tirinya sendiri, putra Ken Dedes dengan tunggul Ametung. Begitulah seterusnya, dendam dan kebencian tak henti mengusung sejarah, Anusapati binasa oleh anak Ken Arok dengan seorang selir. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Holokaus, dikenal pula sebagai Shoah, adalah genosida terhadap kira-kira enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, suatu program pembunuhan sistematis yang didukung oleh negara Jerman Nazi, dipimpin oleh Adolf Hitler, dan berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi. Kini, orang-orang Yahudi dalam gerakan Zionisme, merasa tak salah melanggar dan merampas hak-hak warga Palestina guna membangun sebuah tanah air kaum Yahudi.

Darah dan air mata berceceran di mana-mana. Bahkan di antara kaum seumat seperti perang tak berkesudahan di Suriah. Juga puing-puing peradaban dunia adi luhung yang hancur lantaran peperangan di Irak. Keindahan dan keagungan peradaban Mesopotamia atau Palmyra yang kita kagumi di buku-buku sejarah sejak bangku sekolah dasar, kini cuma kenangan.

Namun demikian, dunia hingga kini tetap lestari. Kasih sayang yang sedemikian lembut namun membawa serta kekuatan yang begitu heroik telah mengimbangi dendam dan kebencian dengan caranya sendiri.   

  Ada sebuah amsal yang begitu elok dalam falsafah Jawa yang berbunyi “Suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Tutur ini kurang lebih punya makna, segala amarah dan angkara murka akan luluh di hadapan ketenangan dan kelembutan hati. Gagasan ini bahkan inplisit telah diafirmasi secara universal oleh kekuatan-kekuatan Tuhan yang maha sempurna dalam berbagai tradisi umat manusia di dunia. Menegaskan, semata-mata kasih sayang itulah kekuatan terbesar yang membawa kelestarian peradaban insani.

Saat menjelang akhir perang Bharatayuda, Yudistira harus melawan Prabu Salya yang memiliki aji-aji Candra Birawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima yang kekar dan Arjuna yang terampil, dibuat kewalahan olehnya. Setiap dipukul dengan gada oleh Bima, atau dipanah oleh Arjuna, jumlahnya malah makin berlipat ganda.

Akhirnya Candra Birawa berhadapan dengan Yudistira, raja yang dikenal berhati putih tiada noda setitik pun. Tidak pernah marah apalagi berperang. Raksasa-raksasa Candra Birawa tidak dilawan. Bahkan didiamkan saja. Namun inilah yang telah mengalahkannya dan akhirnya kembali kepada tuannya.


BACA KOLOM DOKTER YANG LAIN

KLIK DI SINI


Begitu pula ketika Nabi Muhammad senantiasa dijelek-jelekkan salah seorang pengemis buta, namun justru Muhammad dengan rutin memberinya makan dan menyuapinya. Sikap lemah lembut Muhammad inilah kemudian menyadarkan pengemis itu dari kegelapan.  Dalam kitab Matius 5, disebutkan “Tetapi Aku berkata kepadamu, janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu“.

Inilah sikap kasih terhadap sesama yang telah mengispirasi insan-insan hebat di bumi ini. Yang membuat Santo Maximilian Kolbe menyerahkan nyawanya sendiri sebagai pengganti nyawa tawanan yang lain. Kasih seperti inilah juga membuat yang terberkati bunda Theresa dari Kalkuta merawat orang-orang yang miskin, sakit, dan tidak diinginkan. Maka jangan pernah ragu, kasih dan ketenangan hati, sekecil apapun ia, adalah tunas-tunas pepohonan rindang kelestarian dunia. [T]

Tags: filsafatkemanusiaanperangrenungan
Putu Arya Nugraha

Putu Arya Nugraha

Dokter yang bertugas di RSUD Buleleng. Penulis buku "Merayakan Ingatan" (Mahima 2019)

Please login to join discussion

MEDIA SOSIAL

  • 3k Fans
  • 41 Followers
  • 1.4k Followers

ADVERTISEMENT

tatkala.co

tatkala.co

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
One of the works of the Undiksha Fine Arts Student Exhibition May 7, 2018 (Picture by Mursal Buyung)
Poetry

Poems by Devy Gita : Out of Nowhere, A Second Then Good Bye

OUT OF NOWHERE Out of nowhere No one to be known Nothing to be shown Guilt to be blown Out...

by Devy Gita
September 8, 2019

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lukisan Komang Astiari
Cerpen

Senjakala

by Satria Aditya
December 7, 2019
Esai

Upah Tenaga Kerja, “Upah Besi” dan Hukum Pasar

Setiap akhir tahun Dewan Pengupahan negeri ini merumuskan upah tenaga kerja yang akan disarankan kepada pemerintah untuk diberlakukan tahun berikutnya. ...

October 13, 2019
Foto: koleksi penulis
Peristiwa

Cara Sejumlah Orang Bali Menyingkir dari Keriuhan Tahun Baru

BAGI orang Bali (Hindu) tentu saja tak ada masalah dengan perayaan Tahun Baru, meski sesungguhnya Hindu memiliki Tahun Baru sendiri ...

February 2, 2018
Ist
Esai

Biennale Sastra Indonesia – Catatan Menjelang 90 Tahun Bahasa Indonesia

28 Oktober 1928, adalah tonggak penting keberadaan bangsa ini. Sejumlah anak muda,generasi terbaik bangsa ini di jaman itu, menggagas berdirinya ...

October 6, 2018
Foto: FB/Ketut Ngurah Alit Maruta
Esai

Catatan Harian Sugi Lanus: Kenapa Ada Tradisi Nyepi?

Di Bali dikenal beberapa tradisi Nyepi, diantaranya: 1. Nyepi Abian (sehari dilarang ke kebun). 2. Nyepi Subak (sehari sampai 3 ...

February 2, 2018
Esai

Kiri dan Kanan – Catatan Pembacaan Ensiklopedi Kiwa Tengen

Sebanyak dua puluh buah cakep lontar menjadi rujukan penting dalam Ensiklopedi Kiwa Tengen karya team penyusun dari ...

November 26, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Kunjungan siswa sekolah dasar ke ART BALI [Foto: Art Bali]
Kilas

Masih Berlangsung, Pameran Seni Rupa Kontemporer ART • BALI 2019 – “Speculative Memories”

by tatkala
December 6, 2019

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gubernur bagikan air bersih di Nusa Penida
Sumber: nasional.republika.co.id
Opini

Ulangan Sejarah Krisis Air di Nusa Penida

by I Ketut Serawan
December 15, 2019

POPULER

Foto ilustrasi: Mursal Buyung

Semester 7, Masa Tua Mahasiswa, Masa-masa Menakutkan…

February 2, 2018
Danjen Kopassus Mayjen TNI Nyoman Cantiasa dan bapaknya Sastrawan Nengah Tinggen (Foto:Ist)

Cantiasa jadi Danjen Kopassus – Mari Ingat Bapaknya; Sastrawan Nengah Tinggen

January 27, 2019
tatkala.co

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (51) Cerpen (116) Esai (833) Essay (3) Features (3) Fiction (2) Fiksi (2) Khas (229) Kiat (16) Kilas (130) Opini (413) Peristiwa (81) Perjalanan (34) Persona (6) Poetry (2) Puisi (74) Ulasan (259)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In