YANG menarik sesungguhnya dari Twin Lake Festival di Danau Buyan dan Tamblingan, Buleleng, 6-9 Juli 2017 adalah karena festival itu digelar di alam terbuka dengan menghadirkan orang-orang yang memang akrab dengan alam. Bolehlah sebagian besar peserta festival itu disebut sebagai orang-orang alami, natural, dan apa adanya: semisal petani dan pedagang kelas pasar tradisional.
Karena alami, maka terjadi sejumlah kelucuan-kelucuan khas masyarakat agraris. Misalnya kelucuan yang terjadi di arena cerdas tangkas di Danau Tamblingan, Jumat, 7 Juli. Cerdas tangkas itu diikuti peserta pemuda tani dari sembilan kecamatan di Buleleng. Mungkin cara karena berpikirnya amat polos serta kurang cermat dan kurang tangkas, maka sejumlah peserta salah menjawab pertanyaan yang sungguh-sungguh gampang.
Begini pertanyaannya: “Twin Lake Festival ini dilaksanakan di Danau Beratan dan Danau Tamblingan. Benar atau Salah?” Peserta menjawab: “Benar”. Maka juri dan penonton pun tersenyum-senyum geli.
Yang lebih menggelikan, pertanyaan yang mirip ditanyakan kembali kepada peserta yang lain. Dan jawaban peserta tetap salah. Pertanyaannya hanya diganti nama danaunya. Twin Lake Festival ini dilaksanakan di Danau Batur dan Danau Buyan. Benar atau Salah?” Jawabannya: “Benar”. Penonton dan juri kembali senyum-senyum.
Yang terkesan lucu dan membuat penonton senyum-senyum geli, bukan akibat salahnya jawaban, tapi mungkin lebih disebabkan pada kepolosan para peserta sehingga tak sadar mereka dikecoh pertanyaan yang terkesan mudah tapi menjebak pikiran. Di situlah letak jiwa dari Twin Lake Festival ini, yakni pada gugah kesadaran tentang betapa polosnya petani kita. Apalagi, acara cerdas tangkas itu dibuat secara alami, belnya saja berupa kulkul yang ketika dipukul mengesankan suara dari desa yang damai dengan warga yang polos tanpa curiga.
Belebet atau Bantal
Yang lucu tampak juga di pameran hasil pertanian dari sembilan kecamatan di kawasan Danau Buyan. Di stand pameran Kecamatan Kubutambahan terdapat tumpukan jajanan Bali yang dibungkus daun kelapa. Banyak orang mengira itu jaje bantal, padahal sebenarnya bukan.
Dilihat dari kemasannya, jajanan itu memang menipu. Hampir semua pengunjung mengatakan jajanan itu adalah bantal. Bahkan ada petugas PPL (penyuluh pertanian lapangan) yang saling ngotot dengan anggota KWT (kelompok wanita tani) tentang jajanan itu. Petugas PPL ngotot mengatakan bantal, KWT ngotot mengatakan bahwa belebet.
Nah, apa itu belebet? Dijelaskanlah belebet itu kuliner khas dari Desa Bengkala, Kubutambahan. Meski kemasannya mirip bantal, tapi isinya beda, yakni biaung (sejenis umbi seperti keladi) ditumbuk dan dicampur kelapa muda diisi sedikit gula pasir kemudian dikukus. Kalau bantal isinya ketan dicampur kelapa muda diisi pisang atau kacang merah.
Jika hanya dilihat kemasannya, hampir semua pengunjung mengira itu bantal. Maka, ketika dipamerkan, jajanan itu tidak ada yang meliriknya. Orang tak tertarik dengan bantal karena jajanan tradisional itu sudah sangat mudah ditemui sehingga tak ada yang merasa penasaran.
Karena banyak yang mengira bantal, maka muncullan ide salah seorang pegawai dari Dinas Pertanian untuk memberi merek pada jajajan itu. Merek ditulis di atas kertas: BELEBET BIAUNG, dengan keterangan di bawahnya: Bengkala, Kubutambahan. Dengan merek itu, banyak pengunjung kepo dan penasaran. Apa sih belebet itu, bagaimana rasanya, terbuat dari apa? Belebet pun jadi laris dan habis sebelum Bupati sempat meninjau pameran itu.
Nah, itulah dua kejadian yang boleh dianggap lucu tapi penuh pelajaran di Twin Lake Festival, Buyan-Tamblingan. Itu kejadian remeh temeh yang mungkin luput dari perhatian, tapi sesungguhnya itulah roh dari festival yang diniatkan untuk pengembangan alam, lingkungan, dan pertanian dalam arti luas. Arti luas, termasuk melatih cara berpikir petani muda melalui acara cerdas tangkas. (T/May)