iya iya roto
iya iya roto
iya iya roto
iya iya roto
iya roto
ara ara ara ijang ijang ijang
ade roko
BAIT lagu itu dinyanyikan penabuh saat pementasan Janger Menyali, seni hasil rekontruksi dari Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Buleleng, di Kalangan Angsoka Taman Budaya Denpasar, 19 Juni, serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39 tahun 2017.
Bait lagu yang terdengar unik itu sudah bisa mengundang penonton PKB untuk mendekati Kalangan Angsoka. Namun yang lebih membuat penonton agak kaget adalah dialog penabuh usai lagu pembuka itu dinyanyikan.
Tukang Kendang tiba-tiba nyeletuk : “Ade roko ne?” (Ada rokok ini?). Lalu penabuh lain menjawab dengan kompak: “Ade….!” (Ada…!)
Dan sungguh tak diduga para penabuh pun merokok bersama dengan santai. Penonton tercengang melihat penabuh asyik merokok atau meroko atau ngeroko. Ada yang tertawa melihat aksi penabuh yang merokok dengan berbagai tingkah: lucu, serius, sekadar akting, dan ada yang benar-benar menikmati.
Dari kerumun penonton ada juga yang memandang ke panggung dengan pandangan tegang lalu nyeletuk: “Pak, ten dados, ten dados, Pak!” Artinya: “Pak, tidak boleh, tidak boleh, Pak!”.
Namun penonton itu kemudian senyum-senyum agak manis, setelah melihat tingkah para penabuh yang asyik menghisap rokok dengan gaya yang sesungguhnya memang dibuat sebagai sekadar tontonan. Bukan iklan, bukan anjuran, bukan pula kampanye anti rokok. Adegan merokok ini berlangsung tak lebih dari setengah menit, dan pertunjukan dilanjutkan kembali.
Saya tak tahu apakah kamera TVRI Bali yang sedang melakukan siaran langsung, atau kamera TV lain yang sedang merekam, mengalihkan moncong kameranya ke sudut lain agar adegan merokok itu tak terekam. Bukankah adegan orang merokok dilarang untuk terlihat di layar televisi. Jika melanggar, tentu stasiun televisi bisa mendapatkan surat cinta dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Yang lebih aneh lagi, seluruh areal Taman Budaya tempat berlangsungnya Pesta Kesenian Bali ditetapkan sebagai areal bebas asap rokok. Di sejumlah titik dipasangi stiker besar dengangamabr rokok dicoret dan di bawahnya berisi tulisan Kawasan Bebas Asap Rokok. Artinya, ya, tak boleh merokok di Taman Budaya.
Seorang teman sempat bercerita bahwa merokok di areal Taman Budaya bisa di-juk (ditangkap) petugas Satpol PP lalu dikenai denda Rp 500 ribu karena dianggap melanggar Perda Provini Bali Nomor 10 tahun 2011 tentang kawasan anti rokok.
Saya sungguh-sungguh tak tahu apakah pernah ada pengunjung di Pesta Kesenian Bali yang ditangkap dan didenda Rp 500 ribu. Tapi, bisa dibayangkan apabila itu terjadi pada penabuh Janger Menyali yang sedang merokok. Mereka bisa dianggap melanggar Perda, lalu dipanggil beramai-ramai dan masing-masing dikenai denda Rp 500 ribu, maka total sebanyak 15 penabuh itu bisa mengeluarkan uang Rp 7,5 juta. Bukan hanya itu, pentas Janger Menyali bisa batal dan suasana di Pesta Kesenian Bali pun bisa gaduh dan jadi berita nasional. Judulnya beritanya bisa heboh: “Karena Merokok saat Pentas, Penabuh Janger Menyali Ramai-ramai Didenda”.
Syukurlah, adegan penabuh merokok itu tetap diangap sebagai bagian dari pementasan kesenian sehingga adegan merokok dianggap sebagai adegan pura-pura (meski ada juga yang menikmatinya). Namun begitu, jika adegan itu dilihat oleh aktivis anti rokok, mungkin akan ada semacam usulan ke dinas kebudayaan agar adegan merokok itu dihilangkan karena dianggap sebagai bentuk anjuran merokok dan itu berbahaya bagi anak bangsa.
Bukan berarti para penabuh Janger Menyali tak mengerti soal bahaya merokok dan Perda Anti Rokok. Mereka tahu soal itu. Tapi adegan itu tetap dilakukan karena Janger Menyali adalah hasil dari rekontruksi sehingga mereka ingin menunjukkan bahwa Janger Menyali sejak dulu kala memang unik, nakal, inovatif dan kreatif. Selain bisa dilihat dari kostumnya yang menggunakan pakaian gaya Belanda, ya kenakalan kreatif bisa dilihat dari aksi merokok itu.
Sebelum pentas pun Ketut Rediasa yang menjadi penata tabuh Janger Menyali sempat ditanyai oleh salah seorang pegawai Dinas Kebudayaan Bali. “Pak, adi misi roko di selagan gongne?” (Pak, kok ada rokok di sela-sela perangkat gong?”
Ketut Rediasa yang akbrab dipanggil Pak Dede menjawab santai: “Nggih, Pak, tiang nak niki dapet, untuk rekontruksi Janger Menyali!” (Ya, Pak. Saya ini yang dapatkan saat rekonstruksi Janger Menyali).
Dulu, ketika Janger Menyali berkembang sekitar tahun 1920-an tentu saja belum ada Perda Anti Rokok. Dan dari gending “Ya Ya Roto” ini, digambarkan bagaimana keliaran dan kenakalan kreatif para pencipta terdahulu yang menjadikan kebiasaan keseharian mereka digarap dengan indah ke dalam bentuk pementasan. Adegan itu, dulu, tentu dianggap biasa, dan menjadi salah satu daya tarik untuk membuka pementasan.
Tapi kini, ketika rokok dianggap “barang negatif” dan perilaku merokok dianggap “perilaku negatif”, tentu saja adegan itu menjadi tak biasa, bahkan dianggap luar biasa, bahkan dianggap sangat berani. Padahal, merokok saat pementasan yang ditampilkan dalam Janger Menyali merupakan salah satu bagian dari keunikan, keliaran dan kenakalan kreatif para pencipta seni terdahulu di Desa Menyali. Selain adegan merokok, pada penari Janger Menyali sejak awal abad ke-20 sudah menggunakan Bahasa Indonesia dalam syair lagu-lagunya, serta mengadopsi gaya pakaian tentara Belanda.
Pertanyaannya sekarang apakah sebuah kesenian yang direkonstruksi dibiarkan berkembang kembali sebagaimana aslinya demi jargon pelestarian, atau dikreasikan lagi atas nama etika dan peraturan sesuai zaman kini? (T)