DALAM konser promo album grup musik Ake Buleleng di Gedung Kesenian Singaraja, Kamis 2 Maret 2017 malam, semua timpal ake datang. Mereka bersorak, mereka ikut bernyanyi.
Timpal ake artinya “teman aku” adalah sebutan untuk fans setia Ake Buleleng. Tapi, bukan hanya timpal ake saja yang datang, nonton, dan bersorak-sorak bergembira. Timpal ente (temen kamu) juga datang.
“Lho, timpal ake, kan timpal ente juga?”
“Ya, tentu saja, timpal ente itu juga timpal ake!”
“Timpal ente itu berteman sama timpal ake!”
“Ente metimpal jak ake! Jadi, timpal-timpal ente dan timpal-timpal ake metimpal masi! Jadi, timpal ente metimpal jak ake, ake metimpal jak timpal ente!”
Nah, bingung kan? Ya, bingung!
Begitulah musik membuat pertemanan jadi begitu membingungkan. Maka, intinya, dalam musik, dalam menikmati musik, semua adalah teman, hanya namanya berbeda-beda. Kelompoknya berbeda-beda, grup musiknya berbeda-beda.
Dalam konser Ake Buleleng di Gedung Kesenian hampir bisa dipastikan semua pemain musik dan vokalis, yang berada di atas panggung, dari kelompok mana pun mereka, adalah berteman.
Maka itu, massa yang datang ke Gedung Kesenian pada malam yang bergembira itu belum tentu semuanya penggemar Ake Buleleng, belum tentu semuanya kelompok “Timpal Ake”. Bisa jadi mereka penggemar mati-matian Motifora, fans sangat berat Navicula dan Rastafaracetamol. Atau timpal setia Empat Detik Sebelum Tidur.
Mereka mungkin timpal ente, tapi ketika bersama-sama mendengar musik yang sama, apalagi di satu tempat yang sama, maka mereka adalah timpal ake.
Cub malu. Ini mau ngomongin timpal atau ngomongin musik? He he he, sori, ini mau ngomongin kedua-duanya. Karena musik dan per-timpal-an memang sangat erat berkelindan-berkaitan.
Jika tak metimpal, mana mau Motifora, Navicula, Rastafaracetamol, Empat Detik Sebelum Tidur, Hari PW Bintang dan Gaguk Gitar, berada di atas panggung, padahal acara itu bertajuk adalah promo lagu Ake Buleleng. Analoginya, mana mau Mc.Donald berjualan di tempat yang sama padahal saat itu KFC sedangn promo menu baru.
Mereka mau karena timpal. Mungkin ada honornya, tapi bukan semata duit yang membuat mereka bersemangat turut-serta, tapi timpal. Itulah yang membedakan dengan konser besar di sebuah tempat yang terdiri dari berbagai jenis grup musik, tapi mereka datang karena dibayar oleh satu promotor. Di arena konser itu, penontonnya adalah masing-masing penggemar grup, tak ada timpal ake tak ada juga timpal ente.
Musik adalah bahasa yang paling abstrak. Meski abstrak, musiklah yang mampu menggerakkan emosi manusia. Termasuk emosi dalam berteman, berkelompok, dan bergandengan.
Timpal ake, Plato, seorang filsuf dari zaman Yunani Kuno, mengatakan musik mampu membuat suatu negara memiliki kekuatan yang besar serta kejayaan, sebaliknya musik juga mampu mendorong kejahatan dan meruntuhkan pemerintahan.
Jadi, ake ingin mengatakan Konser Promo Album Ake Buleleng, memang berhasil menghadirkan konsep kebersamaan dalam perbedaan. Selaras, meski beda lirik. Yang satu liriknya polos-mekeplos, yang satu liriknya puitis. Sepakat, meski beda nada. Yang satu bernada kasar, yang satu nadanya mellow.
Dalam konser itu, Ake Buleleng yang digawangi Budi Kurniawan alias Unyil (drum), Ngurah Noky (bass), Gde Kurniawan (gitar), Yoga (vokal), Andik (vokal), Agus Jrink (vokal), dan Pande Unyil (vokal) itu, memainkan lagu-lagu yang ada di album perdana “Yuk ke Buleleng”.
Dengan kerendahan hati, mereka juga mengcover lagu “Ciri-Ciri” milik penyanyi pop Bali, Yong Sagita, yang terkenal pada tahun 1990-an. Pada beberapa lagu, Ake Buleleng memainkannya secara kolaborasi bersama musisi lain, seperti Gitaris Bintang Hari PW dan Gaguk gitar.
Jika bicara soal timpal-metimpal, kolaborasi semacam itu tak bisa dilakukan dengan apik jika mereka tak berteman dari hati ke hati. Karena kolaborasi bukan soal main bersama, tapi bagaimana antar mereka saling menyentuh, saling memasuki. Misalnya Gede Kurniawan seakan ikut memetik gitar Hari PW, dan Hari PW seakan ikut memainkan vocal Yoga atau Andik.
Yang menarik, Ake Buleleng melakukan kolaborasi dengan Sanggar Manik Utara pada lagu Megoak goakan. Lagu itu diawali dengan dolanan megoak-goakan, disusupi kemudian dengan lagu Megoak-goakan ciptaan Ake Buleleng. Dolanan adalah jenis musik (bunyi-bunyian) yang dikenal manusia Bali saat kecil, dan itu seakan menjadi pengingat bahwa Ake Buleleng tak pernah melupakan akar, asal-usul, atau riwayat.
Jadi, siapa pun yang berada di atas panggung itu, apakah timpal ake, apakah timpal ente, pokokne semuanya top. (T)