KEMANA angin berhembus? Pertanyaan ini diam-diam meliputi pikiran kita yang belakangan dibooming framing seru di media massa: lawatan raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud.
Seperti yang diberitakan, raja berusia 81 tahun itu pada akhir Februari – Maret 2017 melakukan perjalanan ke sejumlah negara di Asia untuk meningkat kerjasama di bidang ekonomi, politik, pertahanan, pendidikan, pariwisata dan budaya dengan negara-negara yang ia kunjungi. Indonesia menjadi negara kedua yang ia kunjungi setelah Malaysia pada 27 Februari lalu.
Bahkan menurut klaim juru bicara kalangan pemerintahan, lawatan Raja Salman dan delegasinya ke Indonesia merupakan lawatan terpanjang. Selain Indonesia dan Malaysia, seperti yang diberitakan di media massa, Raja Salman melanjutkan lawatannya ke Maladewa, Jepang, China dan akan berakhir di Yordania.
Lawatan ini telah menyedot perhatian publik dan pengamat politik internasional sejak awal, baik segi populismenya, maupun segi geopolitik dan tendensi ekonomi yang melatarinya. Sebagian besar para analis memandang, lawatan itu merupakan rangkaian dari perubahan strategi ekonomi Arab Saudi dalam rangka memulihkan krisis yang dialami negaranya.
Situs sputniknews pada 25 Februari 2017 menulis, lawatan raja Salman merupakan bagian dari program reformasi ekonomi yang diluncurkan tahun 2016 lalu. Sputniknews juga menyebut kerajaan Arab Saudi ingin membangun kerjasama yang lebih luas dengan korporasi dan lembaga keuangan di Asia untuk mengurangi ketergantungan negaranya pada minyak.
Langkah-langkah untuk itu antara lain telah didahului dengan kunjungan wakil putra mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman, ke China pada Agustus 2016 lalu. Yang dalam pertemuannya dengan wakil pemimpin Tiongkok Zhang Gaoli, telah menyepakati 15 isu, termasuk projek air, oil storage dan perumahan.
Kerjasama dengan Jepang juga bakal dilakukan. Mengutip pernyataan Makio Yamada (periset dari King Faisal Centre for Research and Islamic Studies ), Sputniknews menyebut Tokyo dan Riyadh akan meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi yang lebih luas. Riyadh dikatakan telah bekerjasama dengan SoftBank Group, dan berencana menanam modal hingga USD 45 miliar di bidang tekhnologi dan industri.
Program reformasi ekonomi itu juga menjadi tagline pemberitaan media barat terkait kunjungan raja Salman. Mengutip Reuters, situs dailystars pada artikel yang dirilis 24-02-2017 lalu, disebutkan kalau kunjungan itu merupakan upaya untuk menggalakkan peluang investasi, termasuk untuk mempercepat penjualan 5 % saham firma raksasa minyak Saudi, Aramco, yang diharapkan telah terlaksana pada 2018. Disebutkan pula, di China yang merupakan merupakan negara konsumen minyak terbesar di dunia selain Amerika Serikat, Saudi telah membangun pipa minyak dengan Rusia sebagai suplayer teratasnya.
Di Indonesia sendiri, berita tentang lawatan Raja Salman telah gencar semenjak sepekan sebelum kedatangannya. Yang hebat, media televisi yang sebelumnya kurang akur karena masalah Pilkada DKI, kini seperti bersatu padu merayakan kedatangan Raja Salman. Inti framing–nya, rata-rata sama: kedatangan Raja Salman bakal membawa ‘durian runtuh’ untuk ekonomi Indonesia. Selain Topik-topik yang diselebrasi juga topik-topik yang populis, seperti jumlah rombongan raja Salman, jumlah kendaraan mewah yang disiapkan, tempat menginapnya, persiapan pengelola hotel di Bali hingga penampakan pramugari maskapai Arab Saudi yang tidak satu pun orang Arab Saudi.
Terlepas dari unsur selebrasi terhadap topik-topik populis itu, upaya Arab Saudi merangkul negara-negara Asia ke dalam jaringan investasinya itu memang cukup menarik perhatian para pengamat internasional. Lantaran menggambarkan arah baru pergerakan modal negara kaya minyak itu, yang sebelumnya terkonsentrasi di Eropa dan Amerika Serikat. Faktor geopolitik kawasan yang memburuk bagi Saudi, dan juga hubungan yang merenggang dengan Amerika Serikat sejak peristiwa 9/11, ditenggarai telah mendorong Saudi untuk menemukan mitra barunya di Asia.
Memang, sejak naik tahta pada Juni 2015 lalu, Raja Salman terlihat berupaya menyeimbangkan hubungan dengan Washington dan juga Rusia. Seperti dirilis media Rusia RBTH pada September 2015 lalu, selama berpuluh-puluh tahun Arab Saudi memiliki ‘hubungan khusus’ dengan bekas penyokong utama keamanan wilayah tersebut, Amerika Serikat. Drama 9/11 menjadi titik balik. Tuduhan di media Amerika membuat Saudi menarik investasi senilai sekitar 200 miliar dolar dari pasar saham AS.
Sergey Vilatof, pengulas dari jurnal Internasional Affairs yang berbasis di Moskow mengatakan, akibat dari situasi itu, Arab Saudi mencoba mencari jalan baru untuk menangani politik internasionalnya. Termasuk upaya mencari mitra internasional baru, termasuk Rusia. Memang, pada akhirnya Raja Salman mengunjungi Obama di Washington pada September 2015. Namun menurut Sergey Filatov, hal itu merupakan upaya untuk mencari tahu apa yang ditawarkan AS dan dalam rangka persiapan Raja Salman untuk menguatkan hubungan dengan Rusia.
Konteksnya, menurut Sergey, Saudi sangat khawatir terhadap tantangan yang mereka hadapi di kawasan. Hal itu memaksa mereka bertindak lebih pragmatis dari sebelumnya. Lebih jauh dikemukakannya, memang terlalu dini untuk mengharapkan kerja sama skala penuh antara Moskow dan Riyadh, karena terdapat sejumlah pandangan dan kepentingan yang berbeda. Rumah Saudi terlalu berhati-hati dan pragmatis untuk tak memutuskan hubungan dekatnya dengan Washington.
Namun, restrukturisasi yang terjadi saat ini di seluruh wilayah Timur Tengah, didorong oleh menguatnya Iran secara perlahan dan kehadiran ISIS, yang telah mengontrol sekitar 70 persen Suriah dan sejumlah wilayah besar Irak, memaksa Saudi untuk mencari, jika bukan sekutu baru, setidaknya mitra baru yang nyaman diajak bekerja sama menghadapi tantangan bersama.
Strategi Pragmatis Dan Hikayat Jalur Maritim
Kiranya, strategi pragmatis semacam itulah yang sekarang dilakukan Saudi. Perubahan politik internasional yang begitu drastis belakangan, termasuk naik tahtanya Donald Trump ke kursi Presiden AS, kemenangan Assad di Allepo, gagalnya agresi Saudi di Yaman, pastilah membuat Saudi perlu bergegas merestrukturisasi program politik dan internasionalnya, kalau tak ingin terus terjepit di kawasan. Apalagi perkembangan Iran – selaku musuh bebuyutan Saudi – yang makin signifikan sebagai negara kuat di kawasan Timur Tengah.
Harus diakui, pengaruh Arab Saudi terhadap Amerika Serikat tidak dapat sepenuhnya tergusur. Kebijakan travel ban yang dikeluarkan Donald Trump di awal masa kerjanya, toh meluputkan Arab Saudi dan Mesir dari daftar negara-negara yang perlu dijauhi oleh Amerika Serikat. Sebuah kebijakan yang oleh media barat dijadikan bahan untuk mencemooh Trump yang dikatakan tidak mempunyai komitmen total terhadap kebijakannya sendiri.
Di sisi lain, pilihan Arab Saudi untuk mendukung program Jalur Sutra Maritim Baru (new Silk Road economic belt) yang dicanangkan Tiongkok, mencerminkan harapan Saudi pada aspek historis untuk memulihkan kekuatan politik dan ekonominya. Bukan kebetulan kiranya, jika dukungan itu telah menjadi latar belakang dalam proses tour Raja Salman ke Asia, termasuk ke Negeri Bawah Angin, Indonesia dan Malaysia. Sebuah artikel yang dipublikasikan Aljazeera pada Februari 2017 lalu menyatakan bahwa trip Raja Salman ke Asia memadukan tujuan-tujuan yang kompleks antara The National Transformation Plan Arab Saudi dan agenda global negara itu.
Kesan tersebut tidak sulit dibaca apabila kita menyelusuri langkah-langkah diplomasi ekonomi dan politik Saudi sejak 2016 lalu. China Radio Internasional melansir pernyataan wakil Putra Mahkota Muhammad Bin Salman yang mengunjungi Beijing pada Sepember 2016 perihal keinginan Arab Saudi menyambungkan strategi pembangunannya dengan strategi Satu Sabuk Satu Jalan yang dicetuskan Tiongkok, sekaligus meningkatkan kerja sama dengan Tiongkok di bidang ekonomi dan perdagangan, logistik, serta moneter. Hal yang juga dijadikan tajuk ekonomi pada media-media Arab Saudi.
Arabnews misalnya, menggambarkan perhubungan Arab Saudi dan Tiongkok dalam konteks menghidupkan kembali perdagangan kuno Jalur Sutra. Ditekankan dalam artikel tersebut mengenai hubungan baik yang telah berlangsung 3000 tahun saat sutra China, kemenyan, dupa dan mutiara Arab diperdagangkan lewat Semenanjung Arabia. Teluk Arab, Khraibeh, pelabuhan Ageer, Laut Merah dan Duba utara telah menjadi tempat darimana sutera China disebarluaskan di masa lampau. Mengutip perkataan peneliti bernama Eid El Yahya, Arabnews mengemukakan betapa karakter bangsa China dan Arab Saudi merupakan bangsa yang bekerja dan berdagang. Bukan berperang.
Tak lama kemudian, kita melihat proses-proses kerjasama antara kedua negara terus dilangsungkan. Kita dapat memahami, bagaimana Arab Saudi bakal memaksimalkan peran kesejarahannya di masa jalur rempah itu untuk memperluaskan kemitraan dengan negara-negara Asia. Dalam proses ini, bagaimana pun visi Jalur Sutra Maritim Baru abad 21 turut memandu.
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indriana Kartini, dalam artikel yang dipublikasikan di Jurnal Kajian Wilayah (Vol. 6 No. 2, 2015), mengatakan bahwa visi tuan Xi Jinping untuk menciptakan jaringan perdagangan internasional baru yang berfokus pada perdagangan maritim itu, pertama sekali dikemukakan dalam pidato Presiden Xi Jinping di dalam kunjungannya ke Kazakhstan dan ditegaskan kembali dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada tahun 2013, kemudian di Indonesia pada 2014.
Sejak diagendakan dalam sidang pleno ke-3 Komite Sentral ke-18 Partai Komunis Cina pada pertengahan November 2013 di Beijing, Tiongkok telah mengeluarkan rencana aksi komprehensif terkait hal tersebut. Dan telah diklaim didukung oleh hampir 60 negara Eurasia dan non Eurasia. Inilah ambisi perdagangan yang menyertakan aspek historis selain aspek ekonomi belaka, yang cakupannya melintasi benua Asia, Eropa, dan Afrika,menghubungkan Cina, Asia Tengah, Rusia dan Eropa di utara, dan menghubungkan Cina dengan Teluk Persia dan Laut Mediterania melalui Asia Tengah dan Lautan Hindia di selatan. Sebuah jalur yang diperkirakan mencakup 4,4 milyar orang dan US S$2,1 trilyun produksi bruto, atau 63% dari populasi dunia dan 29% dari PDB dunia.
Dari kacamata politik historis, kita melihat, inisiatif Tiongkok dalam Belt and Road Initiatif tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk menciptakan kekuatan ekonomi politik internasional baru yang bakal mengurangi ketergantungan pada kekuatan ekonomi Barat yang dikemudikan Amerika Serikat dan Eropa. Realisasinya dilakukan melalui rencana membangkitkan Jalur Sutra kuno versi Tiongkok dengan jaringan modern jalur kereta cepat, jalur kendaraan darat, pelabuhan dan pipa yang membentang di kawasan Asia.
Menurut penjelasan He Yafei, Vice President of the Chinese Overseas Exchange Association yang dikutip di situs oceanweek.dev.rokutsan.com, konektifitas dalam Belt and Road Initiative tersebut tercipta dalam 5 hal. Yakni konsultasi kebijakan, konektivitas infrastruktur, perdagangan bebas, sirkulasi mata uang lokal, dan hubunganpeople-to-people. Patut dicermati, dengan menyertakan unsur sirkulasi mata uang lokal dan hubungan poeple to people itu, Tiongkok berharap dapat menarik simpati negara-negara miskin dan berkembang di Asia yang selama ini terhegemoni dalam struktur perdagangan bebas abad 20.
Bagaimana Indonesia?
Indonesia sendiri, tentu menjadi target utama Tiongkok utuk diajak terlibat aktif mewujudkan visi itu. Antara lain karena memiliki basis perairan dan basis sejarah yang sesuai dengan cita-cita Xi Jin Ping itu. Apalagi Jokowi mempunyai ambisi membangun infrastruktur maritim yang amat besar. Patut diduga, dukungan Arab Saudi yang memiliki kekuatan ekonomi dan finansial ke dalam rencana tuan Xi Jin Ping tersebut, bakal dimaksimalkan penuh oleh Indonesia. Mengingat pula adanya perhubungan historis dan emosi yang panjang dengan bangsa Arab.
Bahkan baru-baru ini, sembari makan, Raja Salman kembali menegaskan unsur perhubungan itu. Lewat vlog yang diunggah Jokowi dan disebarluaskan media masa, sembari makan enak, Baginda Paduka Yang Mulia Raja Salman mengatakan masyarakat Indonesia laksana Saudara bagi mereka.
Kita sudah melihat betapa hebatnya sambutan masyarakat terhadap raja Arab Saudi itu. Ibu-ibu di Bogor sampai berhujan-hujan seakan didatangi Nabi Muhammad. Seluruh unsur dikerahkan untuk kenyamanan Raja Salman selama berada di Indonesia. Dari sisi konsep Belt and Road Initiative tuan Xi Jin Ping di atas, pemandangan ini sudah cukup untuk membenarkan kuatnya faktor emosi atau hubungan “people to people” dalam membangun sebuah kerjasama.
Apalagi bila melihat rasionalisasi konsep people to poeple itu, tampaknya telah dituangkan dalam bentuk kerjasama di bidang pendidikan dan budaya, serta pemulihan kuota haji bagi Indonesia antara pihak Indonesia dan Arab Saudi. Jadi kita membayangkan Tuan Xi Jin Ping ikut menonton peristiwa hujan-hujan di Bogor itu, sambil tersenyum-senyum senang.
Akhirnya, terlepas dari kenyataan bahwa konsep sabuk lautan abad 21 itu sendiri barulah sebuah visi, langkah-langkah kemitraan yang dilakukan antara negara-negara di kawasan sabuk maritim itu, patutlah dilihat sebagai “upaya menulis hikayat baru”. Sekurang-kurangnya itu membantu kita menduga-duga, ke mana angin sedang berhembus di Indonesia. (T)