WAJAH-WAJAH itu menatap dengan pandangan kosong. Tergantung di dinding begitu saja. sekilas wajah itu menyerupai pria. Terkadang menyerupai wanita. Bisa juga diterjemahkan sebagai orang tua. Sungguh wajah yang tak pasti. Ekspresinya pun tak pasti. Namun wajah-wajah itu menyimpan cerita dan kenangan tersendiri.
Tak kurang dari 50 wajah tergantung dalam bingkai-bingkai lukisan, yang dipajang di Richstone Art and Design Gallery di Jalan Raya Seminyak. Lukisan-lukisan wajah itu merupakan buah karya dari Basugiart, perupa yang telah menetap di Bali sejak 1995 silam. Lukisan wajah itu merupakan bagian dari pameran tunggal Basugiart berjudul “Subversi Wajah-Wajah Informal” yang berlangsung sejak 25 September lalu, hingga 25 Oktober mendatang.
Total ada 30 buah karya yang dihadirkan oleh perupa yang memiliki nama asli Benny Auladi Sugiarto itu. Seluruh lukisannya berwujud wajah yang dilukis dengan teknik kontemporer. Basugiart berusaha menghadirkan wajah-wajah yang mengganggu pikirannya, ke atas kanvas. Ada wajah politisi, bintang film, superstar di dunia musik, pahlawan super, serta teman-temannya sendiri.
Tengok saja karyanya yang berjudulCat Woman, 90×150 cm, media campuran pada canvas, 2016. Pada karyanya ini, Basugiart bukannya menghadirkan wajah cantik berkulit putih mulus yang dibalut topeng kucing berwarna hitam, sebagaimana yang biasa kita saksikan dalam film-film laga. Sebaliknya Basugiarta menghadirkan wanita berkulit hitam yang bertelanjang dada.
Begitu juga dengan karyanya yang berjudulMarilyn Monroe Moslem, 160×170 cm, media campuran pada kanvas, 2016. Alih-alih menghadirkan sosok penyanyi Marilyn Monroe, ia menghadirkan sosok wanita berkulit putih dengan hidung mancung, yang mengenakan jilbab berwarna merah. Wajahnya tak mirip dengan Marilyn Monroe. Hanya bentuk wajahnya yang menyerupai. Hal yang menandakan itu Marilyn Monroe, hanya wajah sang bintang yang hadir di salah satu sisi jilbab.
“Inilah makna dari tema pameran ini. Basugiart berhasil menghadirkan rupa wajah informal yang memiliki nilai kontekstual lebih. Artinya karya-karyanya itu menyerupai. Bisa saja menyerupai wanita, menyerupai pria, menyerupai siapa saja, atau diterjemahkan seperti apa saja. Berbeda dengan wajah-wajah formal yang justru nilai kontekstualnya sedikit. Kalau wajah-wajah formal, kita sudah bisa menebak, oh ini Jokowi, oh ini Ahmad Dhani,” ungkap kurator pameran, I Wayan Arsana.
Lukisan karya Basugiart bukan hanya soal wajah seseorang atau menyerupai wajah seorang tokoh. Namun juga buah dari kegelisahan atas fenomena sosial yang terjadi saat ini. Salah satunya soal fenomena serba Bollywood yang kini menjangkiti penikmat layar kaca yang ada di Indonesia.
Para penikmat Bollywood ini bukan hanya menikmati film, namun juga terhanyut dalam film, mengalami konflik batin, dan menjadi tergila-gila dengan segala hal yang berbau Bollywood. Bahkan ada yang rela berganti gaya busana dan meninggalkan budayanya. Alih-alih bangga dengan budaya sendiri, justru bangga dengan budaya orang lain.
Kritik sosial itu dihadirkan Basugiart melalui karyanya yang berjudulBollywood Reborn, 190×190 cm, media campuran pada kanvas, 2016. Dalam lukisan itu, Basugiart menghadirkan sosok wajah yang menyerupai wanita (atau mungkin pria?) yang berdandan ala Bollywood.
Selain itu, dalam pameran tunggalnya yang kelima, Basugiart juga menghadirkan trauma psikisnya pada peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada 2002 dan Bom Bali II yang terjadi pada 2005. Maklum saja, Basugiart bukan hanya dikenal sebagai perupa, namun juga seorangbeach boyyang memiliki pergaulan luas dengan wisatawan mancanegara.
Kenangan pahit itu ia hadirkan melalui lukisanMr’s and Ms’s Kuta 1, 30×40 cm, media campuran pada kanvas, 2011. Lukisan berbentuk panel yang menghadirkan 20 wajah ini, merupakan rekaman Basugiart terhadap rekan-rekannya yang menjadi korban ledakan Bom Bali I.
Basugiart juga menghadirkan lukisanMr’s and Ms’s Kuta 2,30×35 cm, media campuran pada kanvas, 2013. Lukisan panel ini merekam 20 wajah rekan-rekannya yang mengalami trauma akibat peristiwa Bom Bali. Meski tak menjadi korban secara langsung, namun mereka mengalami gangguan psikologis, akibat peristiwa yang sempat membuat perekonomian Bali menjadi goncang.
Wajah Dalam Karya
Perupa Basugiart mengaku sangat menyukai karya-karya dalam bentuk wajah. Sejak 1997, ketika ia pertama kali terjun di dunia seni rupa, ia telah merekam wajah dalam karyanya. Hingga kini ada 1.500 wajah yang sudah ia lukiskan di atas kanvas.
Konon ide melukis wajah itu muncul begitu saja. Semua berawal dari kegemarannya mengikuti berita di koran dan televisi. Dia mengamati wajah para politisi dan wajah para pemusik. Wajah-wajah itu ia tuangkan dalam bentuk wajah yang menyerupai tokoh tersebut.
Tak disangka karya-karyanya itu menarik perhatian rekan-rekannya yang berasal dari Eropa. Beberapa lukisannya diboyong ke Benua Biru. “Ternyata lukisan saya disukai orang lain, apalagi turis. Dari sana akhirnya saya berpikir, bahwa karya rupa kitanggakkalahkoksama bule. Malah kita lebih kaya dari ide, teknik, tradisi, dan budaya,” ungkapnya.
Dalam karya-karyanya Basugiart menyatakan sangat terinspirasi dengan sosok Vincent van Gogh. Salah satu karyanya yang berjudulVan Gogh-isme, 30×30 cm, media campuran pada kanvas, 2011, merupakan karya yang didedikasikan kepada Van Gogh. Lukisan itu terdiri dari 12 panel wajah.
“Sebenarnyanggakmirip dengan gaya Van Gogh. Saya hanya terinspirasi sosok beliau. Saya tuangkan sendiri pikiran saya mengenai Van Gogh dengan teknik sendiri,” ujar Basugiart.
Oase Seni Rupa
Pameran tunggal yang dihelat Basugiart, oleh I Wayan Arsana, sang kurator, juga disebut sebagai oase di tengah tandusnya dunia seni rupa, utamanya di wilayah Kuta. Entah itu Kuta Utara, Kuta, atau Kuta Selatan. Selama ini tak banyak agenda-agenda seni rupa yang diselenggarakan di daerah Kuta.
Sebaliknya Kuta kini tengah penuh sesak dengan ragam bentuk kerajinan yang begitu menjamur. Sejumlah perupa yang semula berkecimpung di bidang seni murni, kini putar haluan ke produk kerajinan. Idealisme menjadi goyah seiring dengan tuntutan bisnis yang semakin berkembang.
Arsana juga berharap pemerintah memberikan ruang-ruang berkesenian yang lebih luas bagi para perupa seni murni yang ada di wilayah Kuta. Karena dunia seni rupa di Kuta memiliki banyak peluang untuk mendunia.
“Selama ini yang dikenal hanya Gianyar, Ubud, Denpasar, Sanur. Padahal Kuta punya potensi seni rupa yang tidak kalah. Pameran ini semacam doa juga. Kuta memang butuh pusat-pusat kesenian dan budaya. Sehingga Kuta tidak hanya jadi komoditas turisme saja. Kuta memang butuh orang stress di bidang seni, bukan orang bisnis,” tegas Arsana. (T)