“PANJEKAN” mungkin asal muasal kata “panjak”. Biasanya prekanggo atau wong kuasa duduk didampingi anak buahnya yang dijadikan “injakan kaki” (panjekan).
Lihatlah, foto yang dipasang pada tulisan ini, kaki bos menginjak anak buah, kenapa? Jawabannya bisa beragam: Menunjukkan aku yang kuasa. Menunjukkan bahwa manusia bertingkat-tingkat? Satu anak tangga, satu lagi yang naik tangga?
Atau, kedudukan penguasa tergantung yang diinjak? Jangan-jangan ini simbol dan pesan bahwa bersiaplah diinjak jika menjadi anak buah?
Praktek berpose dan berfoto begini banyak kita lihat dari foto-foto lama jaman Belanda. Foto ini hanya dua dari sekian foto lainnya. Di foto satu tampak Ida Ketoet Anom, Punggawa Bandjar memegang lontar dengan kaki satunya bertengger di paha sang panjak. Karya foto ini hasil jepretan Isidore van Kinsbergen ini diambil tahun 1865.
Demikian juga dengan foto Goesti Ngoerah Ketoet Djilantik, dan putrinya Goesti Ajoe Poetoe, dijepret oleh Isidore van Kinsbergen di tahun yang sama, di Batavia. Kedua sosok penguasa ini menaruh kaki di paha sang kaulan/rakyat.
Hari ini mungkin tak ada lagi foto selfie wong kuasa menginjak sang panjak. Yang masih terjejak sekarang tinggal panggilan bentuk hormat “ratu” ditujukan ke keturunan keluarga penguasa jaman kerajaan. “Bentuk hormat” (singgih) diucapkan oleh “sang panjak” ke “sang ratu”, kadang dijawab bentuk “tidak hormat” (jabag).
Situasi seperti itu menyerupai gambaran foto di atas. Bentuknya tidak visual, tapi verbal. Dua foto ini gambaran masa lalu dan sekaligus masa kini: Dulu banyak kekerasan fisik dan visual dilakukan oleh raja atau penguasa.
Kini bentuknya bergerak menjadi “penindasan verbal”. Penguasa yang merasa diri bos atau merasa raja berkata dengan sekenanya. Benarlah keluh tetua di awal kemerdekaan: “Ipidan jejek raja. Jani saling jekjek ngajak nyama“. (Dulu diinjak raja atau penguasa. Setelah merdeka atau mulai usai zaman kerajaan, sesama saudara saling injak).
Penguasa sekarang mungkin tidak lagi kakinya menginjak rakyat, tapi kaki-kaki kekuasaannya bisa menyepak, melangkahi hulu hati rakyat. Kaki-kakinya juga dipakai menginjak-injak kawasan hutan dan konservasi.
Kaki penguasa, dari dulu bahkan mungkin sepanjang sejarah peradaban, tetap menginjak-injak, salih rupa kini menjadi kebijakan tak berpihak rakyat, atau terang benderang menginjak-injak suara rakyat. (T)
Catatan Harian Sugi Lanus: 6 September 2016.